Strategi Mars Group Bangun Rantai Pasok Cokelat di Indonesia

MANAJEMEN RANTAI PASOK SANGAT PENTING DI INDUSTRI COKELAT KARENA MEMANG PASOKAN KAKAO OLAHAN DUNIA SANGAT TERBATAS. TANAMAN KAKAO HANYA TUMBUH DI NEGARA-NEGARA TERTENTU




Pada umumnya kita penggemar cokelat tentu tahu merek cokelat terkenal M&M, Snickers, Mars, Doves. Bahkan mungkin diantara kita yang pelanggan loyal merek-merek cokelat impor asal Amerika tersebut, khususnya cokelat M&M yang di Indonesia juga cukup populer. Tapi mungkin sedikit sekali yang tahu bahwa bahan baku produksi merek-merek cokelat top itu berasal dari Indonesia. Ya, Mars Incoporated – produsen dari merek-merek itu yang juga perusahaan cokelat terbesar dunia asal Amerika beromset miliaran dollar/tahun ini memang mengambil pasokan bahan baku cokelat dari Indonesia. Maklum, Indonesia adalah produsen kakao (cokelat) terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.

Indonesia memang menjadi negeri yang amat penting bagi Mars Incorporated. Bukan semata potensi pasarnya yang amat besar, namun karena kemampuannya menghasilkan kakao yang menjadi bahan baku cokelat yang sangat vital dalam sistem rantai pasokan bisnis mereka. Harus dicatat, di dunia ini ada hanya ada beberapa negara yang bisa ditumbuhi tanaman kakao, yakni mereka yang letaknya sekitar 12 derajat di seputar garis Khatulistiwa, dan Indonesia termasuk di dalamnya. Tak heran kalau Mars bersedia jauh-jauh mendatangi Indonesia, demi mencari bahan baku untuk kesinambungan rantai pasok bisnisnya.

Di Indonesia, sejak awal strategi Mars untuk mengamankan pasokan bahan baku memang sangat serius. Antara lain dengan mendirikan perusahaan di Makasar sejak tahun 1996. Yakni PT Mars Symbioscience Indonesia (MSI), yang merupakan kepanjangan tangan Mars Incorporated untuk pengadaan dan pengolahan bakan baku kakao dari Indonesia. Dipilihnya Makasar sebagai pusat bisnis Mars di Indonesia karena 80% hasil kakao Indonesia disumbang Sulawasi Selatan yang notabene beribukota di Makasar. Bahkan Mars Group merupkan investor asing pertama yang mendirikan pabrik pengolahan kakao di Makasar, tahun 1996. Baru setelah itu diikuti beberapa perusahaan lain. Saat ini Mars  per tahun menyerap sekitar 12 ribu ton biji kakao dari petani local.

Sebelum penetrasi Mars tahun 1996, di Makasar belum ada investor cokelat lain yang tertarik menjalankan pengolahan cokelat. Memang kala itu sudah banyak pengusaha dan perusahaan cokelat yang berkecimpung, namun umumnya sekedar menjadi eksportir dan trader. Mereka membeli biji kakao dari petani-petani, lalu sedikit dikeringkan dan langsung diekspor ke beberapa negara maju yang tingkat kebutuhan bahan baku coklatnya tinggi seperti di Eropa dan Amerika. Jadi, tanpa pengolahan dan program pengembangan produk dalam janga panjang. Mars kemudian kemudian masuk dengan mendirikan pabrik pengolahan, dan memandang kehadirannya di Sulawesi Selatan sebagai bagian dari strategi manajemen pasokan di Group itu.

Setiap hari MSI membeli biji kakao dari para pemasoknya di seputar Sulsel, lalu diolah secara modern di pabrik Makassar itu hingga menjadi mentega kakao dan bubuk kakao. Produk olahan setengah jadi inilah yang kemudian dibawa (ekspor) ke Amerika untuk diproses menjadi produk consumer bermerek yang siap konsumsi seperti M&M, Snickers, Mars, Twix, Skittles, dll. Pabrik di Makassar seluas 2,5 ha yang menelan investasi US$ 15 juta.

Kesungguhan Mars tak hanya tercermin dari keberaniannya mendirikan pabrik namun juga melalui berbagai program-program terobosan untuk mengamankan pasokan. MSI membangun rantai dan jejaring pemasok dengan strategi jemput bola yang layak dicermati. Maklum, karakteristik pasokan di bisnis kakao ini memang unik, sangat berbeda dengan pengolahan sawit (CPO) misalnya.

Di bisnis perkebunan sawit, pabrik-pabrik kelapa sawit (PKS) relatif lebih mudah dalam mengendalikan pasokan karena biasanya mereka juga punya konsesi-konsesi perkebunan milik sendiri, dengan luas bisa mencapai ratusan ribu hektar. Biasanya satu perusahaan yang sudah punya pabrik kelapa sawit (PKS) minimal punya kebun sendiri 10 ribu hektar. Jadi, pasokan bahan baku ke pabrik mereka bisa dipenuhi oleh buah sawit yang dipetik dari kebun sendiri. Kalau toh kekurangan, bisa deal dengan satu atau beberapa perusahaan lain yang punya konsesi kebun yang sudah berbuah. Kalau juga masih kekurangan pasokan, mereka mudah menjalin kerjasama dengan petani-petani dengan format inti-plasma. Para petani itu nanti diwajibkan menjual hasil buah sawit ke PKS yang membiayai pengadaan bibit, pemeliharan dan pemupukan. Manajemen sourcing di PKS relatif lebih simple dan mudah dikendalikan.
Pola seperti itu tak bisa dilakukan di bisnis kakao. Di dunia kakao, tidak ada perkebunan kakao yang dimiliki dan dikelola perusahaan. Tidak ada konsesi perkebunan cokelat milik perusahaan. Semua kebun bertipe perkebunan rakyat, jadi milik warga masyarakat petani kakao yang rata-rata per petani di Sumsel hanya punya 1-2 hektar kebun. Para petani bisa menjual hasilnya kebunnya secara bebas kepada yang mereka pilih. Di kakao, kalau ingin bertahan,  pengusaha mesti bisa deal dengan petani-petani yang di Sumsel jumlahnya 500 ribu petani. Cara yang harus dijalankan benar-benar lebih rumit.

Ternyata di berbagai negara penghasil cokelat kondisinya juga serupa. Perusahaan coklat sangat tergantung pada petani kecil. Data yang saya peroleh menunjukkan kalau 5 hingga 6 juta petani kecil menyediakan 90% pasokan coklat dunia, Wajar, perusahaan seperti MSI, selain harus pandai-pandai mendekati seluruh petani juga harus membangun hubungan janga panjang. Tanpa itu, rantai pasokan untuk produksi mereka akan putus alias pabrik akan berhenti operasi.

MSI menerapkan beberapa strategi untuk mengatasi masalah itu. Antara lain, pertama, memperbanyak channel sumber pembelian bahan baku. Yakni, melalui pedagang, petani pengumpul dan petani. Dulu pabrik hanya membeli kakao melalui pedagang. Jadi yang bensentuhan langsung dengan petani bukan Mars, namun para pedagang itu. Lalu dikembangkan ke para petani pengumpul. Para pengumpul biasanya mewakili petani-petani di sekitarnya yang lokasinya jauh dari pusat pembelian kakao milik Mars. Kepada para pengumpul ini Mars memberikan uang transpor Rp 200 per kg.

Dan yang sekarang sedang aktif dikembangkan, pola pembelian langsung ke petani. Jadi tanpa melalui pedagang atau pengumpul. Para petani mengantar sendiri cokelat hasil kebun mereka ke Mars. Untuk harga sudah dibuat standar di semua lokasi pembelian Mars. Pengumuman harga selalu ditempelkan di halaman depan pabrik sehingga sangat transparan dan semua petani mengetahui. Harganya sendiri  bisa berubah tiap hari, sesuai perubahan harga cokelat dunia di bursa komoditi New York.

Pola pembelian langsung ke petani ini mulai dilakukan 10 tahun terakhir dan kini per tahun ribuan ton cokelat yang diperoleh Mars dari pembelian langsung. Hanya saja pelaksanaan pola pembelian langsung ini memang tak mudah karena Mars harus membangun sistem sendiri, mulai dari penimbangan, pembayaran, dll. Yang pasti, dengan pola pembelian langsung seperti itu, juga memungkinkan Mars melakukan edukasi langsung ke para petani yang menjadi mitra-mitranya tentang bagaimana merawat biji kakao. Ini sangat penting agar Mars mendapatkan bahan baku cokelat terbaik. Mars sangat berkepentingan akan hal itu, apalagi pabriknya menerapkan sertifikaasi HACCP dan GMP sehingga mesti dilakukan pengetesan dan kontrol ketat di setiap proses.

Demi mengoptimalkan pasokan, selain memperbanyak saluran (channel), Mars juga memperbanyak lokasi pembelian biji kakao. Pembelian tak hanya dilakukan di Makassar namun juga di pelosok-pelosok Sulsel. Dalam hal ini MSI mendirikan unit-unit pembelian di kabupaten, seperti yang sudah dilakukan di Luwu, Luwu Utara dan Masamba. Bahkan juga punya di Flores. Unit-unit pembelian ini sekaligus difungsikan sebagai sub pabrik yang aktifitasnya melakukan proses fermentasi dan pengeringan biji-biji kakao. Tak heran kalau untuk mendirikan sub-sub pabrik ini saja MSI mesti menggelomntorkan investasi US$ 2 juta. Pada musim panen raya, dari unit-unit pembelian ini MSI menerima 200 ton biji kakao per hari.

Kalau Anda mengunjungi sub pabrik MSI di Luwu maka akan bisa membuktikan betapa jauh lokasi itu. Sulit dibayangkan bagaimana dulu manajemen MSI bisa menemukan lokasi-lokasi itu. Ini belum lokasi sub pabrik di Masamba. Lokasi tersebut hanya bisa diakses dengan perjalanan darat, memakan waktu tak kurang dari 9 jam dari Makasar.  Otomatis para eksekutif MSI juga harus  keluar-masuk kampung mencari bahan baku dan mengedukasi pasar.
Keberlanjutan pasokan juga dilakukan MSI dengan mengembangkan program-program berdampak luas yang hasilnya bisa jadi tidak dirasakan MSI dalam jangka pendek. MSI memelopori program yang mereka sebut sebagai Cocoa Sustainability Program. Awalnya program ini dijalankan Mars sendiri, namun sejak akhir 2005 Mars mulai berkolaboransi dengan lembaga lain seperti ASKINDO, IFC, ICCRI, Dinas Perkebunan, UNHAS, ACDI/Voca dan GTZ. Mereka duduk bareng dan bersepakat menjalankan program pengembangan kakao, selalu berkoordinasi, dan membentuk forum Cocoa Sustainability Partnership (CSP).

Nampaknya MSI begitu peduli dengan kondisi ini karena dalam beberapa tahun terakhir potret pertanian kakao di Indonesia, terutama di Sulsel, memang mencemaskan. Terjadi penurunan produksi dan kualitas kakao disebabkan banyak hal. Mulai dari rata-rata pohon kakao yang menua (tidak diremajakan), buruknya kondisi tanah dan nutrisi pohon, kurangnya kemampuan manajemen perkebunan, meluasnya hama dan penyakit tanaman seperti penggerek buah kakao (cocoa pod borer), penyakit busuk buah (black pod) dan penyakit vascular streak dieback. Belakangan ini juga diperburuk oleh perubahan iklim dan cuaca yang tak menentu. Indonesia seharusnya bisa menghasilkan 900 ribu ton per tahun, tapi kenyataannya hanya 500 ribu ton karena berbagai masalah itu.

Banyak pihak yang khawatir kalau produksi kakao di Indonesia -- apalagi Sulsel -- jeblok karena bagi Mars Group Indonesia adalah negara penting yang menopang rantai pasok cokelat Mars Group. Indonesia memang negara produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, namun kenyataanya bagi Mars Group, Indonesia adalah pemasok terbesar kedua (16%), hanya kalah dari Pantai Gading (38%). Negara-negara lain hanya mengontribusi 2%-3% bagi pasokan Mars Group.  

Tak heran kalau Mars kemudian menggandeng banyak pihak, termasuk pemerintah lokal, Dinas Perkebunan dan berbagai organisasi lokal untuk menjalankan berbagai program untuk meningkatkan produktifitas, kualitas dan kesinambungan dari perkebunan kakao di Indonesia. Mulai dari mengenalkan dan transfer teknologi perkakaoan ke petani hingga pemberdayaan usaha tani melalui pembentukan model usaha praktis yang mendukung kelanjutan kakao dalam jangka panjang.


MSI ingin para petani dibangun dari sisi fondasi bisnisnya, terutama dalam hal cara-cara penanaman yang mereka lakukan. Sekali lagi, rata-rata tanaman kakao di Sulsel sudah tua dan belum diremajakan. Tanaman kakao bisa menghasilkan dengan baik hingga usia pohon 10 tahun, namun setelah itu cenderung akan makin menurun. Mars mengambil solusi dengan menggalang peremajaan pohon. untuk membantu peremajaan tanaman kakao di Sulsel, MSI melatih petani-petani kakao dalam menghasilkan bibit-bibit unggul dari hasil sambung pucuk. Berbagai program training pembibitan pun dijalankan. Malahan diberikan pinjaman modal bergilir kepada para petani ini untuk mendirikan usaha pembibitan kakao. Sudah banyak usaha pembibitan yang dibantu sejak tahun 2008 dan telah menghasilkan jutaan bibit kakao sambung pucuk kualitas terbaik.

Mars juga mengembangkan 'klinik kakao' untuk percontohan, penelitian dan pelatihan teknologi kakao. Klinik kakao ini, antara lain, ditujukan untuk mengawinkan bibit-bibit kakao agar menghasilkan vareetas terbaik, dan mengidentifikasi berbagai hama kakao. Lokasi klinik kakao berada di Palopo, tanahnya disediakan Pemda Palopo. Rencananya klinik kakao ini akan didirikan di seluruh unit Mars di luar kota, sekaligus menyediakan pernyewaan alat dan bibit.

Tak berhenti disitu. Agar tanaman cokelat para petani meningkat produksinya, MSI menjalan program kompos yang sangat diperlukan untuk kesuburan tanah. Sebab itu MSI membantu para petani kakao membuat kompos dari limbah-limbah kakao. Tentu saja juga sekalian menyediakan alat pencacah limbah dan teknologi pengolahan kompos. Saat ini sudah ada ribuan orang petani kakao Sulsel yang dilibatkan Mars dalam pembuatan kompos, meliputi areal perkebunan seluas 3000 ha dan 40 unit rumah kompos. Tiap bulan kapasitas produksi komposnya sudah mencapai 600 ton.

Yang menarik, disitu Mars tak hanya mengajari cara membuat kompos namun juga membantu menciptakan model usaha kompos. Artinya, sekaligus mengajarkan cara membisniskan kompos itu karena memang bisa dijual ke petani lain. Model percontohan usaha kompos ini sudah didirikan di Lara dan Noling yang merupakan daerah utama penghasil kakao di Sulawesi. Pendirian usaha kompos ini juga didampngi tenaga LSM dari ACDI/VOCA.

Aspek SDM petani juga menjadi perhatian. Maklum pengetahuan kakao di kalangan petani masih amat tradisional dan masih menggantungkan alam. Untuk itu MSI mengangkat fasilitator ahli kakao untuk bekerja melayani dan melatih 17.000 petani kakao secara rutin. Program fasilitator kakao ini awalnya MSI yang memelopori, namun kini Pemda setempat makin aktif mendukung. Tak heran kalau awalnya separoh jumlah fasilitator berasal dari MSI, maka kini yang dididik pemda pun semakin banyak. Fasilitator MSI kini berjumlah 17 orang. Mereka berkeliling mengedukasi petani agar bisa bertani kakao secara lebih baik. Untuk itu MSI juga menyediakan 31 area demonstrasi (demonstration plots) dan lahan kerja (latihan) bagi kelompok tani agar bisa berlatih.

Masih soal SDM, MSI mencoba ikut mendidik generasi penerus petani kakao, bekerjasama dengan pemda setempat. Sebut saja terlibat dalam penyusunan kurikulum pendidikan teknologi kakao di SMK Pertanian di Bone Bone, Luwu Utara dimana pusat pembibitan, kebun klon dan lahan riset kakao berada. Tahun 2008 ini ada 110 siswa yang mengambil jurusan budidaya kakao di SMK tersebut.

Masih ada lagi, MSI juga menjalankan kegiatan-kegiatan yang sifatnya mendukung program penelitian dan pengembangan. Contohnya, menyeponsori riset yang dilakukan Indonesian Cocoa and Coffee Research Institute (ICCRI), GTZ (German Research organization) dan ACIAR (the Australian Centre for International Agricultural Research) dalam menciptakan teknologi baru pengontrol hama dan penyakit tanaman kakao. Lalu, bersama ACIAR, ICCRI, Disbun dan UNHAS juga mengidentifikasi dan mengembangkan varietas kakao unggul yang lebih produktif. Contoh lagi, berkolaborasi dengan ahli tanah Dr. Bachrul Ibrahim dari Universitas Hasanuddin untuk mengadakan survey tanah di daerah Noling, Luwu soal potensi dan hal-hal yang harus dilakukan untuk peningkatan kualitas nutrisi tanah. Berbagai program ini tentu saja ditujukan untuk mengamankan pasokan kakao ke pabrik Mars meski dalam beberapa hal keterkaitannya tidak begitu langsung.


Berbagai program yang dijalankannya Mars ini tak bisa disebut sebagai kegiatan CSR (corporate social responsibiulity) atau program sumbangan (charity) bagi warga masyarakat yang selama ini menjadi pemasok bahan baku cokelat Mars. Tapi ini bagian dari operaional bisnis Mars. Biaya-biaya yang ditanamkan tidak dihitung sebagai biaya CSR tapi bagian dari keseluruhan investasi dan operasional bisnis yang memroses bahan baku dari Indonesia.Yang pasti, dalam menjalankan berbagai kegiatan itu, Mars tak ingin menjadikannya sebagai 'proyek' namun 'program'. "Kalau proyek begitu dana habis berhenti dan ditingggalkan. Ini program karena kita ingin membangun jangka panjang, tahap demi tahap dan konsisten.. Saat ini Mars Group di Indonesia juga membangun pusat riset dan pengembangan komoditas kakao berlokasi di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Fasilitas ini terintegrasi dengan areal perkebunan kakao. (Dea Amalyta)



Lebih baru Lebih lama